Contents |
Marah Roesli atau sering kali dieja Marah Rusli (lahir di Padang, Sumatera Barat, 7 Agustus 1889 – meninggal di Bandung, Jawa Barat, 17 Januari 1968 pada umur 78 tahun) adalah sastrawan Indonesia angkatan Balai Pustaka. Keterkenalannya karena karyanya Siti Nurbaya (roman) yang diterbitkan pada tahun 1920 sangat banyak dibicarakan orang, bahkan sampai kini. Siti Nurbaya telah melegenda, wanita yang terpaksa kawin karena keadaan ekonomi orang tuanya, dengan lelaki yang tidak diinginkannya. (1)
Sementara ibunya seorang wanita biasa. Gelar "Marah" di depan namanya, diberikan oleh keluarga ayahnya sebab ibunda Marah Rusli tidak memiliki gelar Puti yang biasa disandang putri bangsawan. (3)
Namanya Marah Roesli bin Abu Bakr (ejaan baru: Rusli)
Ayahnya, Sultan Abu Bakar, adalah seorang bangsawan Pagaruyung dengan gelar Sultan Pangeran, sedangkan ibunya berdarah Jawa, keturunan Sentot Alibasyah, seorang panglima perang Pangeran Diponegoro[1] yang ditugaskan oleh Belanda ke Minangkabau untuk menghadapi perang Padri, namun kemudian ia membelot dengan membantu perjuangan rakyat Minangkabau melawan kolonialis Belanda. (1)
Marah Rusli mengawini gadis Sunda kelahiran Buitenzorg (kini Bogor) pada tahun 1911. (1)
Mereka dikaruniai tiga orang anak, dua orang laki-laki dan seorang perempuan, termasuk Roeshan Roesli. (1)
Dalam sejarah sastra Indonesia, Marah Rusli tercatat sebagai pengarang roman yang pertama dan diberi gelar oleh H.B. Jassin sebagai Bapak Roman Modern Indonesia. Sebelum muncul bentuk roman di Indonesia, bentuk prosa yang biasanya digunakan adalah hikayat.
Marah Rusli berpendidikan tinggi dan buku-buku bacaannya banyak yang berasal dari Barat yang menggambarkan kemajuan zaman. Ia kemudian melihat bahwa adat yang melingkupinya tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Hal itu melahirkan pemberontakan dalam hatinya yang dituangkannya ke dalam karyanya, Siti Nurbaya. Ia ingin melepaskan masyarakatnya dari belenggu adat yang tidak memberi kesempatan bagi yang muda untuk menyatakan pendapat atau keinginannya.
Dalam Siti Nurbaya, telah diletakkan landasan pemikiran yang mengarah pada emansipasi wanita. Cerita itu membuat wanita mulai memikirkan akan hak-haknya, apakah ia hanya menyerah karena tuntutan adat (dan tekanan orang tua) ataukah ia harus mempertahankan yang diinginkannya. Ceritanya menggugah dan meninggalkan kesan yang mendalam kepada pembacanya. Kesan itulah yang terus melekat hingga sampai kini. Setelah lebih delapan puluh tahun novel itu dilahirkan, Siti Nurbaya tetap diingat dan dibicarakan.
Selain Siti Nurbaya, Marah Rusli juga menulis beberapa roman lainnya. Akan tetapi, Siti Nurbaya itulah yang terbaik. Roman itu mendapat hadiah tahunan dalam bidang sastra dari Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1969 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia.(1)
Marah Roesli was born in Padang, West Sumatra on August 7, 1889, and died in Bandung, West Java on January 17, 1968. He was one of the most well-known Indonesian authors from the Balai Pustaka period. He is famous for his novel Sitti Nurbaya, which tells the story of a teenage girl who was forced to marry a man much older than herself to recompense his father's debt. Like other Minangkabau authors, such as Hamka, Ali Akbar Navis, and Abdul Muis, his novels centre on the theme of the increasingly bankrupt Minangkabau culture. (2)
His name was Marah Roesli bin Abu Bakr (new spelling: Rusli)
Marah Roesli's father, Sultan Abu Bakar, was a nobleman with the rank Sultan Pangeran. (2)
Against his family's wishes, Marah Roesli married a Sundanese woman born in Bogor in 1911. (2)
They had three children, two boys and one girl, including Roeshan Roesli.
In the history of Indonesian literature, Marah Roesli is noted as the first author of a novel, and was designated by Jassin as the "Father of the Modern Indonesian Novel". Before the first novels were written in Indonesia, the prose literature was more similar to folk stories.
Marah Roesli had higher education, and was able to access many books from the Western tradition, especially the Modernism literature prevalent at the time. His works convey the need to move away from the strong traditional values, especially of the Minangkabau people's and embrace the development of the period, and. In light of this, his best known novel Sitti Nurbaya can be read as an attempt to free the people from the traditions that held them back and stopped young people from following their dreams. The story creates a strong impression on the reader, which is true to this day. After more than 80 years, this book is still being constantly discussed and read.
In addition to Sitti Nurbaya, Marah Roesli also wrote several other novels. However, Sitti Nurbaya is the best known one. The novel received the annual price in literature from the Government of Indonesia in 1969, and has been translated to Russian. (2)
(1)https://id.wikipedia.org/wiki/Marah_Roesli
(2) https://en.wikipedia.org/wiki/Marah_Roesli
(3) http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/3643-bapak-roman-modern-indonesia
Have you taken a DNA test? If so, login to add it. If not, see our friends at Ancestry DNA.
Featured National Park champion connections: Marah Roesli is 30 degrees from Theodore Roosevelt, 29 degrees from Stephanus Johannes Paulus Kruger, 34 degrees from George Catlin, 33 degrees from Marjory Douglas, 42 degrees from Sueko Embrey, 32 degrees from George Grinnell, 28 degrees from Anton Kröller, 34 degrees from Stephen Mather, 32 degrees from Kara McKean, 37 degrees from John Muir, 27 degrees from Victoria Hanover and 42 degrees from Charles Young on our single family tree. Login to find your connection.
B > bin Abu Bakr > Marah Roesli bin Abu Bakr
Categories: Indonesian Authors