Hanyokrokusumo (Mataram) Sultan Agung
Privacy Level: Open (White)

Hanyokrokusumo (Mataram) Sultan Agung (1593 - 1645)

Hanyokrokusumo "Raden Mas Jatmika" Sultan Agung formerly Mataram
Born in Kutagede, Kesultanan Matarammap
Ancestors ancestors
[sibling(s) unknown]
Husband of — married [date unknown] [location unknown]
Descendants descendants
Died at about age 52 in Karta (Plered, Bantul), Kesultanan Matarammap
Problems/Questions Profile manager: Susan Scarcella private message [send private message]
Profile last modified
This page has been accessed 5,414 times.


Contents

Biografi

Sultan Agung adalah Sultan ke-tiga Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1613-1645. Di bawah kepemimpinannya, Mataram berkembang menjadi kerajaan terbesar di Jawa dan Nusantara pada saat itu. Atas jasa-jasanya sebagai pejuang dan budayawan, Sultan Agung telah ditetapkan menjadi pahlawan nasional Indonesia berdasarkan S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal 3 November 1975.(1)

Nama dan Ejaan

Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma (Bahasa Jawa: Sultan Agung Adi Prabu Hanyokrokusumo). Nama aslinya adalah Raden Mas Jatmika, atau terkenal pula dengan sebutan Raden Mas Rangsang.

Pada awal pemerintahannya, Raden Mas Rangsang bergelar "Panembahan Hanyakrakusuma" atau "Prabu Pandita Hanyakrakusuma". Kemudian setelah menaklukkan Madura tahun 1624, ia mengganti gelarnya menjadi "Susuhunan Agung Hanyakrakusuma", atau disingkat "Sunan Agung Hanyakrakusuma".

Setelah 1640-an ia menggunakan gelar "Sultan Agung Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman". Pada tahun 1641 Sunan Agung mendapatkan gelar bernuansa Arab. Gelar tersebut adalah "Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram", yang diperolehnya dari pemimpin Ka'bah di Makkah,

Untuk mudahnya, nama yang dipakai dalam artikel ini adalah nama yang paling lazim dan populer, yaitu "Sultan Agung".(1)

Kelahiran dan Ayah Ibu

Beliau lahir di Kutagede, Kesultanan Mataram, 1593. Merupakan putra dari pasangan Prabu Hanyakrawati dan Ratu Mas Adi Dyah Banawati. Ayahnya adalah raja kedua Mataram, sedangkan ibunya adalah putri Pangeran Benawa raja Pajang.

Versi lain mengatakan, Sultan Agung adalah putra Pangeran Purbaya (kakak Prabu Hanyakrawati). Konon waktu itu, Pangeran Purbaya menukar bayi yang dilahirkan istrinya dengan bayi yang dilahirkan Dyah Banawati. Versi ini adalah pendapat minoritas sebagian masyarakat Jawa yang kebenarannya perlu untuk dibuktikan. (1)

Pasangan dan Anak

Sebagaimana umumnya raja-raja Mataram, Sultan Agung memiliki dua orang permaisuri utama. Yang menjadi Ratu Kulon adalah putri sultan Cirebon, melahirkan Raden Mas Syahwawrat atau "Pangeran Alit". Sedangkan yang menjadi Ratu Wetan adalah putri Adipati Batang (cucu Ki Juru Martani) yang melahirkan Raden Mas Sayidin (kelak menjadi Amangkurat I). (1)

Kehidupan dan Wafat

Raden Mas Rangsang naik takhta pada tahun 1613 dalam usia 20 tahun menggantikan adiknya(beda ibu), Adipati Martapura, yang hanya menjadi Sultan Mataram selama satu hari. Sebenarnya secara teknis Raden Mas Rangsang adalah Sultan ke-empat Kesultanan Mataram, namun secara umum dianggap sebagai Sultan ke-tiga karena adiknya yang menderita tuna grahita diangkat hanya sebagai pemenuhan janji ayahnya, Panembahan Hanyakrawati kepada istrinya, Ratu Tulungayu. Setelah pengangkatannya menjadi sultan, dua tahun kemudian, patih senior Ki Juru Martani wafat karena usia tua, dan kedudukannya digantikan oleh Tumenggung Singaranu.

Ibu kota Mataram saat itu masih berada di Kota Gede. Pada tahun 1614 mulai dibangun istana baru di desa Karta, sekitar 5 km di sebelah barat daya Kota Gede, yang kelak mulai ditempati pada tahun 1618.

Saingan besar Mataram saat itu tetap Surabaya dan Banten. Pada tahun 1614 Sultan Agung mengirim pasukan menaklukkan sekutu Surabaya, yaitu Lumajang. Dalam perang di Sungai Andaka, Tumenggung Surantani dari Mataram tewas oleh Panji Pulangjiwa menantu Rangga Tohjiwa bupati Malang. Lalu Panji Pulangjiwa sendiri mati terjebak perangkap yang dipasang Tumenggung Alap-Alap.

Pada tahun 1615 Sultan Agung memimpin langsung penaklukan Wirasaba ibukota Majapahit (sekarang Mojoagung, Jombang). Pihak Surabaya mencoba membalas. Adipati Pajang juga berniat mengkhianati Mataram namun masih ragu-ragu untuk mengirim pasukan membantu Surabaya. Akibatnya, pasukan Surabaya dapat dihancurkan pihak Mataram pada Januari 1616 di desa Siwalan.

Kemenangan Sultan Agung berlanjut di Lasem dan Pasuruan tahun 1616. Kemudian pada tahun 1617 Pajang memberontak tapi dapat ditumpas. Adipati dan panglimanya (bernama Ki Tambakbaya) melarikan diri ke Surabaya.

Pada tahun 1620 pasukan Mataram mulai mengepung kota Surabaya secara periodik. Sungai Mas dibendung untuk menghentikan suplai air, namun kota ini tetap mampu bertahan.

Sultan Agung kemudian mengirim Tumenggung Bahureksa (bupati Kendal) untuk menaklukkan Sukadana (Kalimantan sebelah barat daya) tahun 1622. Dikirim pula Ki Juru Kiting (putra Ki Juru Martani) untuk menaklukkan Madura tahun 1624. Pulau Madura yang semula terdiri atas banyak kadipaten kemudian disatukan di bawah pimpinan Pangeran Prasena yang bergelar Cakraningrat I.

Dengan direbutnya Sukadana dan Madura, posisi Surabaya menjadi lemah, karena suplai pangan terputus sama sekali. Kota ini akhirnya jatuh karena kelaparan pada tahun 1625, bukan karena pertempuran. Pemimpinnya yang bernama Pangeran Jayalengkara pun menyerah pada pihak Mataram yang dipimpin Tumenggung Mangun-oneng.

Beberapa waktu kemudian, Jayalengkara meninggal karena usia tua. Sementara putranya yang bernama Pangeran Pekik diasingkan ke Ampel. Surabaya pun resmi menjadi bawahan Mataram, dengan dipimpin oleh Tumenggung Sepanjang sebagai bupati.

Setelah penaklukan Surabaya, keadaan Mataram belum juga tentram. Rakyat menderita akibat perang yang berkepanjangan. Sejak tahun 1625-1627 terjadi wabah penyakit melanda di berbagai daerah, yang menewaskan dua per tiga jumlah penduduknya.

Pada tahun 1627 terjadi pula pemberontakan Pati yang dipimpin oleh Adipati Pragola, sepupu Sultan Agung sendiri. Pemberontakan ini akhirnya dapat ditumpas namun dengan biaya yang sangat mahal.

Pada tahun 1614 VOC (yang saat itu masih bermarkas di Ambon) mengirim duta untuk mengajak Sultan Agung bekerja sama namun ditolak mentah-mentah. Pada tahun 1618 Mataram dilanda gagal panen akibat perang yang berlarut-larut melawan Surabaya. Meskipun demikian, Sultan Agung tetap menolak bekerja sama dengan VOC.

Pada tahun 1619 VOC berhasil merebut Jayakarta di bagian Barat pulau Jawa yang belum ditaklukkan Mataram, dan mengganti namanya menjadi Batavia. Markas mereka pun dipindah ke kota itu. Menyadari kekuatan bangsa Belanda tersebut, Sultan Agung mulai berpikir untuk memanfaatkan VOC dalam persaingan menghadapi Surabaya dan Banten.

Maka pada tahun 1621 Mataram mulai menjalin hubungan dengan VOC. Kedua pihak saling mengirim duta besar. Akan tetapi, VOC ternyata menolak membantu saat Mataram menyerang Surabaya. Akibatnya, hubungan diplomatik kedua pihak pun putus.

!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Serangan Besar di Batavia Sasaran Mataram berikutnya setelah Surabaya jatuh adalah Banten yang ada di ujung Barat pulau Jawa. Akan tetapi posisi Batavia yang menjadi penghalang perlu diatasi terlebih dahulu oleh Mataram.

Bulan April 1628 Kyai Rangga bupati Tegal dikirim sebagai duta ke Batavia untuk menyampaikan tawaran damai dengan syarat-syarat tertentu dari Mataram. Tawaran tersebut ditolak pihak VOC sehingga Sultan Agung memutuskan untuk menyatakan perang.

Maka, pada 27 Agustus 1628 pasukan Mataram dipimpin Tumenggung Bahureksa, bupati Kendal tiba di Batavia. Pasukan kedua tiba bulan Oktober dipimpin Pangeran Mandurareja (cucu Ki Juru Martani). Total semuanya adalah 10.000 prajurit. Perang besar terjadi di benteng Holandia. Pasukan Mataram mengalami kehancuran karena kurang perbekalan. Menanggapi kekalahan ini Sultan Agung bertindak tegas, pada bulan Desember 1628 ia mengirim algojo untuk menghukum mati Tumenggung Bahureksa dan Pangeran Mandurareja. Pihak VOC menemukan 744 mayat orang Jawa berserakan dan sebagian tanpa kepala.

Sultan Agung kembali menyerang Batavia untuk kedua kalinya pada tahun berikutnya. Pasukan pertama dipimpin Adipati Ukur berangkat pada bulan Mei 1629, sedangkan pasukan kedua dipimpin Adipati Juminah berangkat bulan Juni. Total semua 14.000 orang prajurit. Kegagalan serangan pertama diantisipasi dengan cara mendirikan lumbung-lumbung beras di Karawang dan Cirebon. Namun pihak VOC berhasil memusnahkan semuanya.

Walaupun kembali mengalami kekalahan, serangan kedua Sultan Agung berhasil membendung dan mengotori Sungai Ciliwung, yang mengakibatkan timbulnya wabah penyakit kolera melanda Batavia. Gubernur jenderal VOC yaitu J.P. Coen meninggal menjadi korban wabah tersebut.

Sultan Agung pantang menyerah dalam perseteruannya dengan VOC Belanda. Ia mencoba menjalin hubungan dengan pasukan Kerajaan Portugis untuk bersama-sama menghancurkan VOC. Namun hubungan kemudian diputus tahun 1635 karena ia menyadari posisi Portugis saat itu sudah lemah.

Kekalahan di Batavia menyebabkan daerah-daerah bawahan Mataram berani memberontak untuk merdeka. Diawali dengan pemberontakan para ulama Tembayat yang berhasil ditumpas pada tahun 1630. Kemudian Sumedang dan Ukur memberontak tahun 1631. Sultan Cirebon yang masih setia berhasil memadamkan pemberontakan Sumedang tahun 1632.

Pemberontakan-pemberontakan masih berlanjut dengan munculnya pemberontakan Giri Kedaton yang tidak mau tunduk kepada Mataram. Karena pasukan Mataram merasa segan menyerbu pasukan Giri Kedaton yang masih mereka anggap keturunan Sunan Giri, maka yang ditugasi melakukan penumpasan adalah Pangeran Pekik pemimpin Ampel. Pangeran Pekik sendiri telah dinikahkan dengan Ratu Pandansari adik Sultan Agung pada tahun 1633. Pemberontakan Giri Kedaton ini berhasil dipadamkan pasangan suami istri tersebut pada tahun 1636.

Wilayah kekuasaan Kesultanan Mataram dalam masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645) Pada tahun 1636 Sultan Agung mengirim Pangeran Selarong (saudara seayah Sultan Agung, putra Panembahan Hanyakrawati dan selir Lung Ayu dari Panaraga) untuk menaklukkan Blambangan di ujung timur Pulau Jawa. Meskipun mendapat bantuan dari Bali, negeri Blambangan tetap dapat dikalahkan pada tahun 1640.

Dalam masa Sultan Agung, seluruh Pulau Jawa sempat tunduk dalam kekuasaan Kesultanan Mataram, kecuali Batavia yang masih diduduki militer VOC Belanda. Sedangkan desa Banten telah berasimilasi melalui peleburan kebudayaan. Wilayah luar Jawa yang berhasil ditundukkan adalah Palembang di Sumatra tahun 1636 dan Sukadana di Kalimantan tahun 1622. Sultan Agung juga menjalin hubungan diplomatik dengan Makassar, negeri terkuat di Sulawesi saat itu.

Sultan Agung berhasil menjadikan Mataram sebagai kerajaan besar yang tidak hanya dibangun di atas pertumpahan darah dan kekerasan, namun melalui kebudayaan rakyat yang adiluhung dan mengenalkan sistem-sistem pertanian. Negeri-negeri pelabuhan dan perdagangan seperti Surabaya dan Tuban dimatikan, sehingga kehidupan rakyat hanya bergantung pada sektor pertanian.

Sultan Agung menaruh perhatian besar pada kebudayaan Mataram. Ia memadukan Kalender Hijriyah yang dipakai di pesisir utara dengan Kalender Saka yang masih dipakai di pedalaman. Hasilnya adalah terciptanya Kalender Jawa Islam sebagai upaya pemersatuan rakyat Mataram. Selain itu Sultan Agung juga dikenal sebagai penulis naskah berbau mistik, berjudul Sastra Gending.

Di lingkungan keraton Mataram, Sultan Agung menetapkan pemakaian bahasa bagongan yang harus dipakai oleh para bangsawan dan pejabat untuk menghilangkan kesenjangan satu sama lain. Bahasa ini digunakan supaya tercipta rasa persatuan di antara penghuni istana.

Sementara itu Bahasa Sunda juga mengalami perubahan sejak Mataram menguasai Jawa Barat. Hal ini ditandai dengan terciptanya bahasa halus dan bahasa sangat halus yang sebelumnya hanya dikenal di Jawa Tengah.

Pintu masuk ke makam Sultan Agung di Pemakaman Imogiri di Imogiri, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia (foto tahun 1890).

Menjelang tahun 1645 Sultan Agung merasa ajalnya sudah dekat. Ia pun membangun Astana Imogiri sebagai pusat pemakaman keluarga raja-raja Kesultanan Mataram mulai dari dirinya. Ia juga menuliskan serat Sastra Gending sebagai tuntunan hidup trah Mataram.

Sesuai dengan wasiatnya, Sultan Agung yang meninggal dunia tahun Dia wafat: Karta (Plered, Bantul), Kesultanan Mataram, 1645. (1)

Biography

Name and Spellings

His throne name was

  • Sultan Agung ("Great Sultan).
  • Sultan Agung of Mataram,
  • Sultan Agung Anyokrokusumo or
  • Sultan Agung Hanyokrokusumo (Ha and A are both written using the same character in Javanese script).
  • His birth name was Raden Mas Rangsang [1]

1593 Birth Year Estimation

His estimated birth is 1593, 20 years before the beginning of his reign.

Parentage

His father was Sri Sultan Adi Prabu Hanyakrawati Senapati-ing-Ngalaga Mataram (Prabu Hanyakrawati) Sultan of Mataram. [1]

Marriages

His permaisuri was Ratu Batang, who is buried beside him in Imogiri. [1]

1613 Reign: Third Sultan of Mataram

Sultan Agung became the ruler of Mataram in 1613 [1]

Sultan Agung of Mataram, Sultan Agung Anyokrokusumo or Sultan Agung Hanyokrokusumo was the third Sultan of Mataram in Central Java ruling from 1613-1645. [1]

A skilled soldier, he conquered neighbouring states and expanded and consolidated his kingdom to its greatest territorial and military power. [1]

Sultan Agung (literally, "Great Sultan" or "Majestic Sultan") is subject of a substantial amount of literature due to his legacy as a Javanese ruler, a fighter against the incursions of the Dutch East India Company, a conqueror, and his existence within a cultural framework where myth and magic are well intertwined with verifiable historical events and personages. [1]

1614 Attack on Surabaya and Malang

The next year he attacked Surabaya, as well as Malang which lies south of Surabaya, and the eastern end of the Java island, but failed to conquer them both. He was however able to extraxt a significant indemnity [1]

1615 Attack on Wirisaba

He was able to use the indemnity in 1615, to conquer Wirasaba (present day Mojoagung, near Mojokerto), an operation which he personally lead. [1]

1616 Attack by Surabaya

In 1616, Surabaya attempted to attack Mataram in retaliation, but lacking allies the Surabaya army was crushed by Sultan Agung's forces in Siwalan, Pajang (near Surakarta). The coastal city of Lasem, near Rembang, was conquered later in 1616, and Pasuruan, south-east of Surabaya, was taken in 1617. Tuban, one of the oldest and biggest cities on the coast of Java, was taken in 1619.[1]

Surabaya had been Mataram's most formidable adversary thus far. Agung's grandfather, Senapati or Senopati, had not felt strong enough to attack this powerful city, and his father, Panembahan Seda Krapyak, attacked it to no avail.[1]

1622 Capture of Sukadana, Kalimantan

Sultan Agung weakened Surabaya by capturing Sukadana, Surabaya's ally in southwest Kalimantan, in 1622, and the island of Madura, another ally of Surabaya, in 1624 after a fierce battle. [1]

1625 Conquest of Surabaya

After five years of war Agung finally conquered Surabaya in a siege in 1625. With Surabaya brought into the empire, the Mataram kingdom encompassed all of central and eastern Java, and Madura, except for the west and east end of the island and its mountainous south (except for Mataram, of course). [1]

In the west Banten and the Dutch settlement in Batavia remained outside Agung's control.[1]

1629 Seige of Batavia

The economy of Mataram was centered on agriculture, thus Sultan Agung who was openly contemptous of trade, saw no need to maintain significant naval forces. This was later to prove costly when in 1629 he attacked and attempted to drive the Dutch out of their base at the coastal city of Jakarta. Though he possessed larger and superior land based forces, the Dutch had decisive advantages in naval power and were able to withstand the Siege of Batavia.[1]

After the failure of the siege, Agung turned against the Balinese, then controlling Balambangan in East Java, in a “holy war” against infidels. His campaign was successful in Java, but he was unable to extend his power to the island of Bali itself. Bali thus retained its identity as a Hindu state in the midst of the predominantly Muslim states of the archipelago.[1]

Internal Government

Apart from his conquests the Sultan also sought to rationalize and improve the internal government of his kingdom. He reformed the tax-code and brought the courts and judicial system more in line with Qurʾānic precepts. He commissioned the building of the Karta Palace in 1614, the Royal Graveyard of Imogiri, as well as other social and civic structures within the kingdom.[1]

Rebellions

By 1625, Mataram was the undisputed ruler of most of Java. However, its military strength did not deter Mataram’s vassals from rebellion.

Pajang rebelled in 1617, and Pati rebelled in 1627.

Following the capture of Surabaya in 1625, expansion halted as the empire was beset by rebellions.

In 1630, Mataram crushed a rebellion in Tembayat (southeast of Klaten).

However, in 1631-36, Mataram had to suppress the rebellion of Sumedang and Ukur in West Java. Agung's attempt to capture Batavia in 1628-29, and drive the Dutch from Java ended in failure.[1]

1632 Royal Cemetery, Imogiri

In 1632 Sultan Agung began building Imogiri, his burial place, about 15 kilometers south of Yogyakarta. Imogiri remains the resting place of most of the royalty of Yogyakarta and Surakarta to this day which in Agung's complex buried Sultan Agung, Queen Batang, and their sons. Agung died in the spring of 1646, leaving behind an empire that covered most of Java and stretched to its neighboring islands. [1]

Children

His best known son is his heir Amangkurat I. [1]

Sumber/Sources

  1. 1.00 1.01 1.02 1.03 1.04 1.05 1.06 1.07 1.08 1.09 1.10 1.11 1.12 1.13 1.14 1.15 1.16 1.17 1.18 1.19 English Wikipedia. Sultan Agung of Mataram

(1) https://id.wikipedia.org/wiki/Sultan_Agung_dari_Mataram





Is Hanyokrokusumo your ancestor? Please don't go away!
 star icon Login to collaborate or comment, or
 star icon contact private message the profile manager, or
 star icon ask our community of genealogists a question.
Sponsored Search by Ancestry.com

DNA
No known carriers of Hanyokrokusumo's DNA have taken a DNA test.

Have you taken a DNA test? If so, login to add it. If not, see our friends at Ancestry DNA.

Images: 1
Sultan Agung
Sultan Agung



Comments

Leave a message for others who see this profile.
There are no comments yet.
Login to post a comment.