Nyoman Pandji Tisna
Privacy Level: Open (White)

Nyoman Pandji Tisna (1908 - 1978)

Anak Agung Nyoman Pandji Tisna aka I Gusti Nyoman Pandji Tisna, Pandji Tisna
Born in (Buleleng) Singaraja, Bali, Hindia Belandamap
Ancestors ancestors
[sibling(s) unknown]
[spouse(s) unknown]
[children unknown]
Died at age 70 in Singaraja, Bali, Indonesiamap
Problems/Questions Profile manager: Susan Scarcella private message [send private message]
Profile last modified | Created 17 Jul 2016
This page has been accessed 1,251 times.


Contents

Biography

Sue Scarcella was at Sydney University with one of Panji Tisna's daughters, and has met several of his other children in Bali.

Biografi:Raja dan Sastrawan

Anak Agung Pandji Tisna (lahir di Buleleng, 11 Februari 1908 – meninggal 2 Juni 1978 pada umur 70 tahun), dalam sumber lain disebutkan meninggal tahun 1976 [1] yang dikenal pula dengan nama A.A. Pandji Tisna, Anak Agung Nyoman Pandji Tisna atau I Gusti Nyoman Pandji Tisna, adalah keturunan ke-11 dari dinasti raja Buleleng di Bali Utara, Anglurah Pandji Sakti. Nama Anak Agung Pandji Tisna dipergunakan sejak tahun 1938, diubah dari nama I Gusti Njoman Pandji Tisna. (1)

Anak Agung Panji Tisna menolak jadi raja mengganti ayahnya. 1944 Militer Jepang mengangkatnya sebagai "syuco". Atas kemauan sendiri sebagai umat Kristen th 1947 berhenti sebagai raja Buleleng x) dan menyerahkan takhta kepada Anak Agung Kt. Jelantik, adiknya, sampai 1949. Note: x) buku I Made Widiadi. (4)

Nama dan Ejaan

Anak Agung Pandji Tisna (ejaan baru: Panji Tisna)

Kelahiran dan Ayah Ibu

Anak Agung Pandji Tisna dilahirkan dari AA Putu Djelantik dengan istrinya Jero Mekele Rengga. (1)

Pasangan dan Anak

Ia sendiri pernah mempunyai empat orang istri, yaitu Anak Agung Istri Manik, Ni Ketut Mayas (Jero Mekele Seroja), Luh Sayang (Mekele Sadpada), dan Jro Mekele Resmi. Memiliki 13 anak.(1)


Kehidupan dan Wafat

Pada awal tahun 1946, pada usia 38, Anak Agung Pandji Tisna berpindah agama, dari beragama Hindu menjadi beragama Kristen, sebuah tindakan yang berbeda di tengah masyarakat Bali yang umumnya beragama Hindu dan memandang agama sebagai bagian tak terpisahkan dari budaya dan etnisitas. Karena itu, ia sendiri menulis bahwa karena ia beragama Kristen sementara masyarakatnya beragama Hindu, ia tidak cocok menjadi raja Buleleng.

Tahun 1947 ia secara sadar turun dari takhta kerajaan. Kedudukan raja dilanjutkan oleh adiknya Anak Agung Ngurah Ketut Djelantik atau I Gusti Ketut Djelantik yang dikenal dengan nama Meester Djelantik sampai pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada tahun 1949 dan Anak Agung Ketut Djelantik menjadi raja Buleleng terakhir.

Pandji Tisna juga terkenal karena ia merupakan tokoh perintis pariwisata Bali, khususnya di daerah pantai utara. Pada tahun 1953 Pandji Tisna memilih lokasi Desa Tukad Cebol (kini Desa Kaliasem) sebagai tempat peristirahatannya. Di situ ia menulis dan menerima tamu-tamunya dari dalam maupun luar negeri. Tempat peristirahannya itu dinamainya "Lovina", yaitu singkatan dari kata "Love Indonesia". Setelah itu, Pandji Tisna mendirikan tempat-tempat penginapan di pantai barat Buleleng tersebut, dan seluruh daerah itu kemudian dikenal sebagai pantai Lovina. Karena itu Pandji Tisna juga diakui sebagai "Bapak Pariwisata Bali". Pada tahun 2003, Pemerintah Daerah Bali menganugerahi kepadanya secara anumerta penghargaan "Karya Karana" sebagai pengakuan atas jasa-jasanya dalam pengembangan pariwisata Bali.

Anak Agung Pandji Tisna meninggal dunia 2 Juni 1978 dan dikuburkan dengan upacara agama Kristen di tanah pekuburan pribadinya di atas sebuah bukit di desa Seraya - Kaliasem di sebelah sebuah gereja yang telah lebih dahulu dibangun olehnya.(1)

Karya Tulis

I Made Widiadi (Kembali Kepada Tuhan) (1955)

I Swasta Setahun di Bedahulu (1938)

Sukreni Gadis Bali (1936)

Ni Rawit Ceti Penjual Orang (1935)

"Panglajar djadi tjoelik", (1940)


Biography: King and Literary Figure

On the last page of Pandji Tisna's book, I Made Widiadi, written in 1955, he wrote his life story in chronological order. He was a writer and a novelist. He refused to be the king of Buleleng because of his conversion to Christianity in 1947 , but being the eldest son, the Japanese occupancy troops forced him to be "syucho" after the death of his father in 1944. (2)

Name and Spellings

Anak Agung Pandji Tisna (ejaan baru/ new spelling: Panji Tisna)

Birth and Parentage

Anak Agung Pandji Tisna was born to Anak Agung Putu Djelantik and his wife Jero Mekele Rengga. (2)

After his conversion to Christianity, he only lived with his first wife, but supported his other former wives and children. Most of them also became Christians because of his witness, and serve in congregations throughout North Bali. (personal knowledge)

Marriages and Children

Pandji Tisna had four wives,

Anak Agung Istri Manik, with whom he had two sons;

Ni Ketut Mayas (Jero Mekele Seroja), with whom he had two sons and 1 daughter;

Luh Sayang (Mekele Sadpada), with whom he had two sons ; and

Jro Mekele Resmi, with whom he had 4 sons and two daughters.


Life and Death

During his reign, he became the leader of the Council of Kings of all of Bali from 1946 to 1947 (Paruman Agung) and the Regent of Buleleng.

In 1947, because his uniquely Christian faith did not fit in with the predominant Hindu religion, Pandji Tisna surrendered the throne to his younger brother, Anak Agung Ngurah Ketut Djelantik or I Gusti Ketut Djelantik, also known as Meester Djelantik, until 1949.

Pandji Tisna is best known as a novelist. His novels, which all took place in Bali, especially in Singaraja, his birthplace,[clarification needed] were published by Balai Pustaka. Many of his short stories were published in Terang Bulan magazine in Surabaya. He also took the time to write poems, such as Ni Poetri, which was published by Sutan Takdir Alisyahbana in Poedjangga Baroe magazine in Jakarta.

Pandji Tisna had a varied career as a merchant, secretary to his father, Headmaster of Elementary School, Editor of Jatayu magazine, and farmer, before succeeding to the throne on the death of his father on 25 July 1944. He was Chair of the Balinese Council of Kings from 1946–1947, but abdicated in favour of his brother, Meester Djelantik, in 1947.

He was a member of the Provisional Parliament of the State of East Indonesia from 1946-1948.

Pandji Tisna is also remembered as a pioneer of Balinese tourism, especially in the northern beach district. In 1953, he chose Desa Tukad Cebol (now Desa Kaliasem [Kaliasem Village]) as his holiday home. There he wrote and received both local and foreign guests. He named his holiday home Lovina, which is an abbreviation of words Love Indonesia. He then built several guest houses in the western coast in Buleleng. The whole area then became known as Pantai Lovina, or Lovina Beach in English. For this reason, he is accredited as "The Father of Balinese Tourism".

In 2003, the Balinese government posthumously awarded him the Karya Karana Award in recognition of his services to the development of Balinese tourism.

He died 2 June 1978 and was buried in the graveyard on the Eastside of his land near the chapel he built years before. (2)

Written Works

I Made Widiadi (Kembali Kepada Tuhan) (1955)

I Swasta Setahun di Bedahulu (1938)

Sukreni Gadis Bali (1936)

Ni Rawit Ceti Penjual Orang (1935)

"Panglajar djadi tjoelik", (1940)


Sumber/ Sources

(1) https://id.wikipedia.org/wiki/Anak_Agung_Pandji_Tisna

(2) https://en.wikipedia.org/wiki/Pandji_Tisna

(3) http://www.sejarahbali.com/detail.php?id=104

(4) http://buleleng.com/gen_tukadmungga.htm





Is Nyoman your ancestor? Please don't go away!
 star icon Login to collaborate or comment, or
 star icon contact private message the profile manager, or
 star icon ask our community of genealogists a question.
Sponsored Search by Ancestry.com

DNA
No known carriers of Nyoman's ancestors' DNA have taken a DNA test.

Have you taken a DNA test? If so, login to add it. If not, see our friends at Ancestry DNA.



Comments

Leave a message for others who see this profile.
There are no comments yet.
Login to post a comment.